Papa tidak banyak
bicara, tapi bertindak.
Papa tidak banyak
ngomel, tapi saya segan.
Papa tidak banyak
peraturan, tapi saya patuh.
Saya punya tumpukan kenangan bersamanya, saya
punya rentetan mimpi untuk diwujudkan bersamanya. Seperti banyak anak perempuan
lain, buat saya papa adalah pria pertama yang saya cintai dan saya selalu
bilang, "laki-laki yang jadi suami saya kelak, harus seperti papa".
Masih jelas diingatan saya, sekitar 15 tahun silam, setiap kali papa pulang
kerja sambil membawa beberapa pasang sepatu, kaset CD karoke kumpulan lagu
sekolah minggu atau saat papa membawa seekor anjing coklat kecil berbulu lebat.
Papa menderita stroke ringan sejak 10 Tahun
lalu, papa tetap menjalani aktivitas seperti biasa, tetap bercanda, bekerja,
beribadah, berguyon, mengurus kedua ekor kura-kura peliharaanku, menemani,
memberi solusi, dan segala hal. Seminggu sebelum tanggal 2 Mei, papa drop. Papa
sudah hampir tidak dapat menjalani aktivitas sebagaimana mestinya. Selama
seminggu itu saya selalu memantau keadaan papa dari kampus, saya tidak bisa
disisinya karna minggu itu kami UTS. Mama selalu bilang “dede tenang ya, papa
bilang dede harus fokus UTS, papa baik-baik saja”. Selesai UTS, seingatku hari
Jumat tanggal 27 April. Saya pulang
rumah, papa masih tersenyum tapi tidak berkata-kata. Saya hanya bisa berbaring
disisinya, berusaha mengajak papa berkomunikasi. Papa tidak mau dibawa ke rumah
sakit, terakhir papa berada dirumah sakit, papa mencabut infus dan oksigennya.
Hari selasa pagi-pagi sekali, mama dan papa dalam diamnya meyakinkan saya untuk
kembali ke kampus. Dengan setengah hati pagi itu 1 Mei, saya beranjak dari
rumah, meninggalkan papa dalam diamnya.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 04:30
pagi. Pagi itu saya di tertidur lelap di kamar kost. Masih jelas sekali terdengar
suara handphone saya berdering, dari jauh terdengar suara mama, “de, kamu
berberes sekarang ya, pulang. kamu udah di jemput”.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 06:30
pagi. Saya tiba dirumah duka dan berlari kearah kamar jenasah. Papa terbujur
kaku dibalut kain putih. Papa tersenyum manis sekali. Mama terdiam,
pandangannya kosong seperti separuh jiwanya pun tertidur lelap bersama papa.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 07:00
pagi. Suasana kamar jenazah dingin sekali, entah berapa unit pendingin ruangan
ada di tempat itu. Papa selalu ingin saya kuat. Saya anak tunggal, saya harus
kuat untuk mama. Saya menangis dalam diam. Tidak perlu ada yang tau jika saya menangis, itu urusan saya.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 08:00
pagi. Bisa tolong saya untuk mendiamkan waktu sejenak? Tolong jangan putar
detik atau menit di jam itu dengan cepat! Saya masih ingin berlama lama disini.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 08:30
pagi. Handphone saya tidak berhenti berdering, pengurus dalam ruang jenasah tak
berhenti menyuruh saya. Membelikan ini dan itu, mengurus persuratan ini dan itu
untuk keperluan persemayaman terakhir papa. Tidakkah mereka mengerti saya hanya
ingin memandang senyum manis papa yang sudah dingin dan kaku? Tidak, tidak
seorang pun yang boleh tau saya selemah itu.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 09:30
pagi. Semua hal telah terurus dengan baik, papi sudah di formalin dan
dimandikan. Papa tampan sekali dalam lelap dan diam. Dengan jas biru muda,
warna kesukaannya.
Sekarang saya jauh dari papa, jauh sekali, sangat
jauh. Sekarang giliran saya, papa. Saya
sedang berjuang untuk jadi orang besar, orang besar menurut versi kami. Rindu
saya berlipat-lipat tiap hari, saya tau papa juga rindu, tapi dia hampir tidak
pernah menelpon saya. Dia tenang, Dia senang. Ya, Tenang dan Senang.