Minggu, 13 Mei 2012

Catatan Dua Mei


Papa tidak banyak bicara, tapi bertindak. 
Papa tidak banyak ngomel, tapi saya segan. 
Papa tidak banyak peraturan, tapi saya patuh. 

Saya punya tumpukan kenangan bersamanya, saya punya rentetan mimpi untuk diwujudkan bersamanya. Seperti banyak anak perempuan lain, buat saya papa adalah pria pertama yang saya cintai dan saya selalu bilang, "laki-laki yang jadi suami saya kelak, harus seperti papa". Masih jelas diingatan saya, sekitar 15 tahun silam, setiap kali papa pulang kerja sambil membawa beberapa pasang sepatu, kaset CD karoke kumpulan lagu sekolah minggu atau saat papa membawa seekor anjing coklat kecil berbulu lebat.
Papa menderita stroke ringan sejak 10 Tahun lalu, papa tetap menjalani aktivitas seperti biasa, tetap bercanda, bekerja, beribadah, berguyon, mengurus kedua ekor kura-kura peliharaanku, menemani, memberi solusi, dan segala hal. Seminggu sebelum tanggal 2 Mei, papa drop. Papa sudah hampir tidak dapat menjalani aktivitas sebagaimana mestinya. Selama seminggu itu saya selalu memantau keadaan papa dari kampus, saya tidak bisa disisinya karna minggu itu kami UTS. Mama selalu bilang “dede tenang ya, papa bilang dede harus fokus UTS, papa baik-baik saja”. Selesai UTS, seingatku hari Jumat tanggal 27 April.  Saya pulang rumah, papa masih tersenyum tapi tidak berkata-kata. Saya hanya bisa berbaring disisinya, berusaha mengajak papa berkomunikasi. Papa tidak mau dibawa ke rumah sakit, terakhir papa berada dirumah sakit, papa mencabut infus dan oksigennya. Hari selasa pagi-pagi sekali, mama dan papa dalam diamnya meyakinkan saya untuk kembali ke kampus. Dengan setengah hati pagi itu 1 Mei, saya beranjak dari rumah, meninggalkan papa dalam diamnya.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 04:30 pagi. Pagi itu saya di tertidur lelap di kamar kost. Masih jelas sekali terdengar suara handphone saya berdering, dari jauh terdengar suara mama, “de, kamu berberes sekarang ya, pulang. kamu udah di jemput”.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 06:30 pagi. Saya tiba dirumah duka dan berlari kearah kamar jenasah. Papa terbujur kaku dibalut kain putih. Papa tersenyum manis sekali. Mama terdiam, pandangannya kosong seperti separuh jiwanya pun tertidur lelap bersama papa.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 07:00 pagi. Suasana kamar jenazah dingin sekali, entah berapa unit pendingin ruangan ada di tempat itu. Papa selalu ingin saya kuat. Saya anak tunggal, saya harus kuat untuk mama. Saya menangis dalam diam. Tidak perlu ada yang tau jika saya  menangis, itu urusan saya.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 08:00 pagi. Bisa tolong saya untuk mendiamkan waktu sejenak? Tolong jangan putar detik atau menit di jam itu dengan cepat! Saya masih ingin berlama lama disini.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 08:30 pagi. Handphone saya tidak berhenti berdering, pengurus dalam ruang jenasah tak berhenti menyuruh saya. Membelikan ini dan itu, mengurus persuratan ini dan itu untuk keperluan persemayaman terakhir papa. Tidakkah mereka mengerti saya hanya ingin memandang senyum manis papa yang sudah dingin dan kaku? Tidak, tidak seorang pun yang boleh tau saya selemah itu.
Pagi itu tanggal 2 Mei sekitar pukul 09:30 pagi. Semua hal telah terurus dengan baik, papi sudah di formalin dan dimandikan. Papa tampan sekali dalam lelap dan diam. Dengan jas biru muda, warna kesukaannya.
Sekarang saya jauh dari papa, jauh sekali, sangat jauh. Sekarang  giliran saya, papa. Saya sedang berjuang untuk jadi orang besar, orang besar menurut versi kami. Rindu saya berlipat-lipat tiap hari, saya tau papa juga rindu, tapi dia hampir tidak pernah menelpon saya. Dia tenang, Dia senang. Ya, Tenang dan Senang.